Apakah ada di antara kita yang menginginkan kegagalan dalam kehidupan kita?
Kehidupan saya sebagai orang Kristen mengenal dan percaya ada Satu Pribadi yaitu Allah dalam bahasa Kristen yang tidak pernah gagal. Rencana-Nya selalu berhasil dan tepat.
Tetapi
bukankah jika kita perhatikan dalam Alkitab banyak juga tokoh-tokoh
Alkitab yang kelihatannya justru tidak berjalan menurut apa yang Tuhan
kehendaki. Misalnya saja Adam dan Hawa yang jatuh dalam dosa
seringkali disalahpahami oleh banyak orang bahwa Allah telah gagal dan
berusaha keras memperbaikinya. Atau kalau kita mendengar kisah perjalanan bangsa Israel
bagaimana berkali-kali murtad dari Allah bukankah itu pun sebuah
pertanyaan apakah Allah telah gagal dalam memilih umat-Nya? Bahkan saat
gereja mulai dikenal dari kehidupan jemaat mula-mula apakah ini berarti
gereja berjalan sempurna? Tidak, justru di gereja terjadi tindakan
korupsi, pencemaran dan berbagai masalah lainnya. Apakah ini berarti
Allah gagal?
Dalam kehidupan kita sendiri bagaimana? Ketika melihat orang menjadi Kristen apakah berarti kita lepas dari masalah? Tidak. Apakah mungkin ketika jadi Kristen ini menjadikan keluarga kita punya ekonomi
lebih baik, pendidikan lebih baik, status kita jadi lebih oke, masalah
kita bisa selesai, rencana kita berjalan dengan baik, tidak ada yang
sakit, dan segala hal yang kita butuhkan dapat dipenuhi? Kenyataannya tidak.
Bahkan tidak jarang hal seperti ini membuat kita kalaupun ke gereja ya tidak ada bedanya dengan ke gereja. Rutinitas dan sekedar hadir
untuk memenuhi tuntutan agama, tidak enak dengan teman menjadi bagian
kehidupan rohani kita. Karena seringkali ketika menjalani kehidupan kita
semuanya tetap harus dikerjakan sendiri, diusahakan sendiri, tidak ada
jaminan menjadi anak Tuhan akan selalu di atas, belajar selalu berhasil,
tidak ada masalah dan lebih menyenangkan sepanjang hidup kita.
Jadi
melihat kenyataan hidup yang ada, bahwa kehidupan kita sebagai orang
Kristen tanpa terasa sepertinya tidak ada bedanya dijalani dengan
kehidupan orang lainnya. Memahami Tuhan berkuasa atas hidup kita menjadi
hanya sekedar pikiran saja tetapi tidak dialami.
Apakah
Allah berkuasa dalam kehidupan kita? Pertanyaan ini membawa kita pada
bagaimana saya mengalaminya? Oleh karena itu, mari kita membuka Ayub
1:6-12 sebagai bagian yang membawa kita memahami akan hal ini.
1:6 Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap TUHAN dan di antara mereka datanglah juga Iblis.
1:7
Maka bertanyalah TUHAN kepada Iblis: "Dari mana engkau?" Lalu jawab
Iblis kepada TUHAN: "Dari perjalanan mengelilingi dan menjelajah bumi."
1:8
Lalu bertanyalah TUHAN kepada Iblis: "Apakah engkau memperhatikan
hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorang pun di bumi seperti dia, yang
demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan."
1:9 Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: "Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah?
1:10
Bukankah Engkau yang membuat pagar sekeliling dia dan rumahnya serta
segala yang dimilikinya? Apa yang dikerjakannya telah Kauberkati dan apa
yang dimilikinya makin bertambah di negeri itu.
1:11 Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu."
1:12
Maka firman TUHAN kepada Iblis: "Nah, segala yang dipunyainya ada dalam
kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya."
Kemudian pergilah Iblis dari hadapan TUHAN.
Kisah Ayub merupakan kisah yang cukup dikenal dalam kalangan orang Kristen.
Kebanyakan orang berfokus pada kisah akhir Ayub, bagaimana berkali-kali
lipat Allah memberikan berkatnya setelah Ayub menjalani penderitaannya
karena tantangan iblis terhadap Allah yang baru saja kita baca tadi.
Sehingga seringkali dalam kisah ini seringkali yang digambarkan adalah
kesuksesan seorang yang mengikuti Tuhan secara materi. Seakan-akan tolak
ukur seorang yang berkenan di mata Tuhan adalah ketika berkat secara materi dilimpahkan. Apakah ini salah? Bisa jadi benar tetapi bisa jadi kebanyakan salah.
Menariknya
pada bagian awal ini, Ayub tidak mengetahui bahwa penderitaannya
sebagai bagian dari tantangan iblis kepada Tuhan. Sebaliknya, kita
sebagai pembaca Alkitab mendapatkan keistimewaan mengetahui bahwa
penderitaan Ayub dimulai dengan tantangan iblis terhadap Allah.
Inilah yang dilakukan iblis yang terus dilakukan mencari cara bagaimana
menjatuhkan manusia sampai sekarang. Salah satunya yang dilakukan adalah
mengubah cara pandang manusia tidak lagi dalam cara pandang Allah. Dosa Adam dan Hawa untuk mau menjadi sama seperti Allah diwariskan kepada kita, manusia dialihkan oleh iblis agar berusaha melihat dengan caranya sendiri.
Inilah
pandangan yang terus ditanamkan pada kita melalui berbagai cara oleh si
jahat. Dalam kisah Ayub nantinya kita akan menyaksikan bagaimana iblis
menggoyahkan cara pandang Ayub akan Tuhan. Bukan hanya sekali tetapi
sampai dua kali. Ketika Ayub dijarah harta bendanya, anak-anaknya tewas
dalam satu waktu yang sama, tetapi Ayub tetap meresponi kegagalan
hidupnya dengan cara yang Allah kehendaki. Kita buka bersama Ayub 1:21.
1:21
katanya: "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan
telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN
yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!"
Dan yang kedua, saat Ayub dicobai lebih berat lagi, dia mengalami sakit barah di sekujur tubuhnya dan kali ini istrinya yang tidak tahan melihat penderitaan Ayub memberikan perkataan yang sangat lazim
kalau dipandang saat itu. Istrinya meminta Ayub daripada harus
merasakan kesakitan seperti itu lebih baik dia segera mati saja. Tetapi
apa respon Ayub, kita baca dalam Ayub 2:10.
2:10
Tetapi jawab Ayub kepadanya: "Engkau berbicara seperti perempuan gila!
Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima
yang buruk?" Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan
bibirnya.
Iblis berusaha menggoyahkan cara pandang Ayub
agar beralih dari melihat Allah sekarang melihat dirinya sendiri. Ayub
mengalami penderitaan yang diijinkan Allah, yang dilihat oleh orang
sekitar Ayub sebagai kegagalan hidupnya dan Ayub sendiri tidak paham
mengapa dia mengalami penderitaan tersebut. Bukan kesalahan dia sendiri,
karena Allah sendiri melihat kesalehan Ayub merupakan kesalehan yang asli bukan bentuk dari topeng agama.
Dalam
kehidupan kita pun iblis melakukan upaya yang sama. Cara kita memandang
apa yang dialami dalam hidup kita dihadapkan dengan dua pilihan, melihat dengan sudut pandang Allah atau sudut pandang kita. Termasuk juga dalam melihat kegagalan ataupun keberhasilan dalam kehidupan kita. Ketika mengalami kegagalan ini dapat membawa kita pada dua hal, apakah pencobaan atau ujian? Ketika kita mengalami keberhasilan ini dapat membawa kita pada dua hal, apakah pencobaan atau ujian?
Seorang
pria di Amerika Serikat bernama William memenangkan lotre Pennsylvania
sebesar 16,2 juta dolar AS (hampir Rp. 162 miliar), tahun 1988. Sekarang
hidupnya tergantung dari jaminan sosial pemerintah. Ketika ia
memenangkan hadiah lotre, mantan pacarnya menggugatnya untuk minta
bagian. Saudara laki-lakinya ditangkap polisi karena menyewa pembunuh
bayaran untuk membunuh William, agar saudaranya itu bisa memperoleh
warisan hadiah lotrenya.
Saudara
kandung yang lain membujuk-bujuknya agar uang hadiah lotre
diinvestasikan pada bisnis mobil dan restoran, namun uang yang
ditanamkan pada 2 bisnis tersebut tidak kembali, hubungan dengan
saudaranya itu akhirnya menjadi tegang. Dalam setahun William memiliki
hutang sebesar 1 juta dolar AS, dan pernah dipenjarakan gara-gara
menembakkan pistol di atas kepala seorang penagih hutang. William
mengakui bahwa ia sangat ceroboh dan bodoh. Ia berusaha menyenangkan
keluarganya. William akhirnya menyatakan dirinya bangkrut. Kini ia hidup
dengan tenang dibiayai oleh jaminan sosial sebesar $450 perbulan dan
mendapat kupon makanan. “Ternyata hadiah lotre tak berarti apa-apa bagi saya !” katanya.
Jika melihat kisah ini, memenangkan lotere apakah termasuk keberhasilan atau kegagalan?
Saya
memiliki teman waktu SMP dulu. Dia dulunya setingkat di atas saya
tetapi tidak naik kelas. Kemudian kami pun akrab dan perlahan saya
mengetahui teman saya ini aktif di gereja. Dia lah yang banyak mengajak
saya ke gereja waktu SMP dan saya ingat sekali dia pernah memberikan
satu kesaksian yang sangat baik. Dia bilang kalau saja dulu dia tetap
naik kelas mungkin dia tidak seperti sekarang. Masih bermain judi,
nonton pornografi, bermain dengan lingkungan teman-teman yang rusak dan
tidak mengenal Tuhan.
Kalau ditanya saat tidak naik kelas apakah teman saya ini berhasil atau gagal?
Ketika
kita berbicara mengenai kedaulatan Tuhan dalam hidup kita maka kita
haruslah melihat dalam sudut pandang Allah. Setiap dari kita akan
mengalami proses yang sama, baik atau buruk, suka atau duka, senang atau
susah, manis atau pahit. Proses dalam kehidupan kita memiliki 2 dimensi
bisa menjadi pencobaan atau ujian. Iblis mencobai kita dalam proses
hidup kita agar makin buta terhadap yang kekal dan berfokus pada yang fana. Tetapi Allah menguji kita dalam proses hidup kita agar kita makin terang terhadap yang kekal dan tidak mempertahankan yang fana.
Jadi
apakah Allah berkuasa dalam hidup kita? Ya, teman-teman tetapi
pertanyaannya apakah mata kita melihat dalam cara kerja Allah. Jadi
jangan heran ketika Ayub mengatakan dalam Ayub 42:5,
dia memahami bahwa Allah tetap berdaulat dalam kehidupannya. Ayub
memahami bahwa Allah tetap berkuasa dalam hidupnya bukan sekedar karena
kesalehannya tetapi karena anugerah Allah itu sendiri. Dia memahami
bahwa keberhasilan ataupun kegagalan dalam hidupnya untuk membawa
matanya semakin melihat kepada Allah. Kini matanya sendiri lah yang
memandang Allah bukan lagi dari kata-kata orang lain.
Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati dengan cara iblis mengalihkan pandangan kita dari Allah. Pertama, iblis senang menggunakan masa lalu
kita untuk menunjukkan Allah telah gagal dalam hidup kita. Mungkin kita
dibebani dengan berbagai macam label buruk yang diberikan oleh orang
tua kita, guru kita, teman-teman kita atau kita merasa kita hidup dengan
pengalaman yang negatif dalam masa lalu kita. Kita perlu berhati-hati
jangan-jangan ini dipakai iblis untuk membuat kita beralih pandangan
dari melihat kebaikan Allah tetapi sekarang kita melihat diri kita
sebagai orang yang selalu dikasihani, tidak bisa bangkit dan tidak
berani memiliki tujuan hidup. Kita seharusnya mengingat kuasa Kristus
mengalahkan maut di kayu salib mengalahkan kuasa iblis. Karya penebusan
Kristus melampa Sama seperti seorang perempuan Samaria yang ketika
menemukan Yesus membebaskan dia dari label masa lalunya. Dan hidupnya
dapat berubah setelah mengalami kemenangan dalam Kristus.
Kemudian yang kedua, berhati-hatilah dengan siapa kita bergaul.
Ketika Ayub menjalani penderitaannya, dia didatangi oleh ketiga
temannya, Elifas, Bildad dan Zofar. Tetapi daripada menolong Ayub tetap
memahami kuasa Allah dalam penderitaan Ayub, mereka malah mengalihkan
pandangan Ayub untuk melihat dirinya yang sedang menderita daripada
melihat maksud Tuhan mengijinkan dia menderita. Teman-teman Ayub bahkan
dikatakan penghibur-penghibur sialan karena bukan menguatkan justru
membuat Ayub makin merana dengan apa yang terjadi dalam hidupnya.
Dengan
siapa kita berteman? Apa yang paling banyak kita bicarakan dalam hidup
kita? Dengan apa dan siapa kita paling banyak menghabiskan waktu kita?
Apakah mereka ini membuat mata kita melihat bagaimana Allah tetap
memegang hidup kita? Atau malah menjatuhkan kita dengan mengenalkan
berbagai hal yang negatif, membuat kita membuang waktu dengan berbagai
macam permainan, obrolan, tontonan dan berbagai hal yang membuat kita
semakin menjauh dari Tuhan.
0 Komentar