Dalam
sebuah survei tahun 2017 yang diadakan oleh Liveway, dicatat bahwa 66 persen
anak muda usia antara 23-30 tahun mengatakan mereka keluar gereja ketika mereka
berusia 18 tahun. Beberapa alasan yang membuat mereka keluar gereja cukup
beragam namun 34 persen memilih keluar gereja karena pindah ke tempat kuliah,
32 persen karena menilai orang di gereja munafik serta 29 persen karena merasa
tidak terhubung dengan orang-orang gereja.
Fenomena
banyaknya anak muda yang keluar dari gereja terutama pada kalangan gereja
Injili seringkali dilihat karena faktor-faktor sekunder seperti suasana ibadah,
khotbah yang tidak menarik ataupun tidak menggunakan musik-musik yang keren.
Fuller Youth Institute menemukan bahwa faktor-faktor tersebut bukanlah faktor
utama penyebab anak muda meninggalkan gereja. Faktor utama yang menyebabkan
banyaknya anak muda meninggalkan gereja adalah merasa kehidupan spiritual tidak
lagi menjadi prioritas mereka dan merasa sibuk dengan berbagai kegiatan mereka.
Masalah
yang muncul dari penelitian tersebut bukankah mencerminkan realitas kehidupan
bergereja saat ini. Kebanyakan pemimpin gereja menyalahkan hamba Tuhan ataupun
anak-anak muda sebagai generasi yang sulit diatur. Kenyataannya, gereja memang
tidak menunjukkan skala prioritas tinggi pada masalah kehidupan spiritualitas
jemaatnya namun dibungkus dengan berbagai kemasan acara-acara rohani yang padat
dan sibuk.
Dalam
berbagai penelitian, rata-rata usia maksimal anak muda masih dapat dibina untuk
memprioritaskan kehidupan rohaninya adalah hingga 15 tahun. Kelompok remaja
seharusnya dibina dengan kehidupan yang mengalami perjumpaan pribadi dengan
Allah namun banyak gereja terjebak dengan membangun berbagai kesibukan untuk
melibatkan mereka. Misalnya saja, remaja A di suatu gereja menceritakan
sepanjang tahun dia dan teman-temannya disibukkkan dengan berbagai kepanitiaan
di gereja. Januari mempersiapkan acara imlek di ibadah umum, valentine di
komisi remaja, maret-april mempersiapkan ibadah jumat agung dan paskah,
april-juni mempersiapkan acara untuk camp remaja, mei membantu acara parents
day, juli mulai dilibatkan sebagai panitia HUT gereja dan juga panitia natal.
Agustus-Oktober mempersiapkan HUT komisi, Oktober-Desember melibatkan diri
dengan kegiatan-kegiatan persiapan Natal.
Pertanyaannya,
siapa yang menyusun program hingga sepadat itu? Gereja seringkali berteriak dan
mensuarakan untuk mencari Tuhan, mengalami perjumpaan dengan Tuhan dan
mendengarkan suara Tuhan. Mirisnya, gereja pula menjadi penghalang terbesar
bagi jemaatnya untuk mengalaminya. Celakanya, banyak hamba Tuhan juga tidak
dapat merubah tradisi-tradisi gereja dan terjebak dengan urusan-urusan gerejawi
seperti ini. Kalaupun ada hamba Tuhan yang berani menolak banyak terlibat
dengan kepanitiaan acara gereja, kemungkinan dinilai pemalas dan pemilih
sehingga keputusan untuk tidak dilanjutkan pelayanannya tinggal menunggu waktu.
Oleh sebab
itu, gereja perlu membenahi diri dan tidak menghalangi anak-anak muda sejak
remaja datang kepada Kristus. Kedatangan mereka kepada Kristus bukan sekedar
diberikan ibadah KKR dan selesai. Namun justru dilatih untuk memprioritaskan
kehidupan spiritualitasnya di tengah-tengah banyak kegiatan yang dialaminya.
Sejak remaja, mereka dilatih dan dipersiapkan untuk mengalami kematangan
spiritualitas. Untuk membangun spiritualitas mereka tidak lepas dari relasi
secara pribadi dengan kakak rohani, majelis, penatua, hamba Tuhan dan gembala.
Dalam berbagai penelitian mengenai spiritualitas, kematangan seseorang berelasi
dengan Allah berhubungan dengan kematangan relasinya dengan sesama. Jadi,
anak-anak muda saat ini bukan sekedar membutuhkan ibadah yang besar-besaran
ataupun acara-acara dengan bungkusan rohani yang menarik namun lebih dari itu,
para pemimpin gereja perlu banyak menginvestasikan waktunya untuk membina
relasi dengan anak-anak muda di gerejanya, menjadi mentor, teladan dalam
kehidupan rohani secara nyata. Tidak akan mudah dilakukan jika prioritas waktu
gereja masih dialokasikan untuk mengadakan banyak acara.
0 Komentar